Cerita Pendek Singkat - Lorong Waktu
"Di ujung jalan, Dimas melihat gerbang besar terbuat dari ranting dan sulur tanaman. Jantungnya berdebar kencang. Inikah gerbang waktu?"
Hujan deras menghantam jendela tua, suaranya berpadu dengan gemuruh angin yang seakan merintih. Dimas meremas-remas tangannya, cemas menanti di sudut lorong gelap. Keringat dingin mengalir di tubuhnya, meski udara begitu dingin.
Ini bukan lorong sembarangan. Diceritakan orang tua, lorong ini menjadi jalan pintas ke masa lalu. Tapi tak sembarang orang bisa menemukannya. Hanya mereka yang terjebak dalam lingkaran penyesalan terdalam yang bisa menembus tembok waktu.
Dimas salah satunya.
Ia menyesal setengah mati karena tak sempat mengucapkan salam perpisahan pada ayahnya sebelum kecelakaan merenggutnya pergi. Kehilangan itu terpatri begitu dalam, menggerogoti hidupnya dengan duka. Karenanya, ia nekat mencari lorong waktu.
Petunjuknya tertulis di gulungan kulit kambing yang diwariskan kakeknya. Tulisan kuno dan bau apak memenuhi indra Dimas. "Lorong Tersembunyi, Gerbang Malam, Ketika Langit Menangis." Petunjuk itu membawanya ke lorong ini, saat badai tengah mengamuk.
Dimas melirik arlojinya. Sudah tengah malam. Langit memang menangis, tapi hatinya sendiri yang banjir air mata. Dengan napas tersengal, ia menapaki lorong berlapis lumut. Setiap langkah diiringi desakan suara agar ia mundur.
Lorong itu sempit dan pengap. Bau tanah basah dan jamur menusuk hidungnya. Dinding-dinding batu berlumut seperti merapatkan diri, seolah tak ingin ia lewat. Tangannya meraba dinding, mencari gerbang yang disebutkan.
Tiba-tiba, kilatan petir menyambar, terang sesaat menerangi lorong. Di ujung jalan, Dimas melihat gerbang besar terbuat dari ranting dan sulur tanaman. Jantungnya berdebar kencang. Inikah gerbang waktu?
Ia mendekat dengan langkah tak pasti. Suhu udara terasa turun drastis. Gerbang itu mengeluarkan cahaya kehijauan, berdenyut-denyut seakan bernapas. Saat Dimas mengulurkan tangan, suara bisikan terdengar bergema, "Peringatan! Mengubah masa lalu bisa merubah masa depan. Kau yakin?"
Dimas tertegun. Benar. Ada risiko yang belum ia pikirkan. Mengubah masa lalu bisa berpeluang mengubah hidupnya, ke arah yang tak terduga. Namun, kerinduan kepada sang ayah begitu kuat, mengalahkan ketakutannya.
Dengan tekad bulat, Dimas menyentuh gerbang waktu.
Cahaya hijau meledak, membutakan matanya. Tubuhnya terhisap ke dalam, menembus lorong waktu.
Dimas tersadar di depan pintu rumahnya, 10 tahun lalu. Langit sore itu cerah, burung-burung berkicau riang. Ia melihat ayahnya sedang mencuci mobil, tak menyadari kedatangannya.
Air mata Dimas mengalir. Ini kesempatannya. Dengan langkah gemetar, Dimas mendekati ayahnya.
"Ayah," panggilnya dengan suara tercekat.
Ayahnya menoleh, wajahnya penuh kejutan, "Dimas? Dari mana kamu?"
Dimas tersenyum, air mata berjatuhan. "Ayah, aku—aku mencintaimu."
Kalimat itu hanya diucapkannya sekali dalam hidupnya, kini diucapkan lagi di masa lalu. Ia memeluk ayahnya erat, merasakan kehangatan yang selama ini hilang.
Tapi saat memeluknya, kilatan petir menyambar lagi. Dimas tersentak, pemandangan di sekelilingnya mulai berputar. Ia menjerit, tak ingin kembali ke masa depan yang kelam.
Namun, gerbang waktu telah menutup. Dimas terlempar kembali ke lorong gelap, terbaring dengan lutut gemetar.
Ia berhasil mengucapkan apa yang selama ini disesalinya. Tapi apakah itu mengubah masa depan? Apakah ayahnya selamat? Dimas tak tahu. Lorong waktu telah menutup rapat rahasia masa depan.
Satu hal yang pasti, Dimas takkan pernah sama lagi. Keberanian melewati lorong waktu dan kembali ke masa lalu, meski hanya sekejap, telah mengubah dirinya. Ia belajar menerima takdir dan menghargai setiap detik yang tersisa.